Setiap sepatu, selalu menyimpan
cerita tentang pemiliknya. Entah itu cerita saat mengenakannya, atau mungkin
usaha saat membelinya. Kenangan saat menggunakannya, atau masih berbentuk
harapan untuk memilikinya.
Salah satu sepatu bertumit tinggi
gue, juga punya kisahnya sendiri. Sebut saja, namanya Pearl. Sepatu kesayangan gue
yang baru saja menjadi penghuni tetap lemari sepatu, tepat di tanggal 24
Agustus, hari ulang tahun gue kemarin.
Pearl adalah sepatu bertumit
tinggi dengan bahan karet yang sewangi permen. Mereknya Melissa, salah satu brand
sepatu yang tidak hanya mengedepankan kekinian dari trend fashion melalui warna-warna sepatunya yang berani dan meriah,
tetapi juga kenyamanan penggunanya. Harganya? Tentu saja selangit. Tapi setiap pasang sepatunya sangat
pantas dibandrol dengan harga tinggi mengingat kenyamanan yang dijanjikan
kepada pemakainya. Satu lagi, Melissa menyediakan size 35. Sangat membahagiakan
untuk orang-orang yang punya kaki di bawah rata-rata ukuran orang normal
seperti gue.
Okay enough with the brand.
Mari masuk kepada pertemuan pertama kami. Sepatu ini pertama kali
tertangkap mata gue di tanggal 23 Juni 2013, di hari Minggu, satu hari sebelum
ulang tahun adik gue. It explains why I
still remember the date precisely, yes? Berhubung sepatu cantik ini sedang
ada promo potongan harga, maka gue memutuskan untuk
membelinya kalau ada ukuran yang pas dengan kaki gue. Oh ya, model sepatu yang gue mau ini, punya beberapa pilihan warna, antara lain Baby Pink, Shocking Orange, Electric Blue, dan Black. Tentu saja gue langsung jatuh cinta sama warna baby pink. Baby pink-nya berkilau gitu kayak mutiara. Apa sih istilah nggak noraknya? Gue nggak tau, ya pokoknya begitulah ya.
membelinya kalau ada ukuran yang pas dengan kaki gue. Oh ya, model sepatu yang gue mau ini, punya beberapa pilihan warna, antara lain Baby Pink, Shocking Orange, Electric Blue, dan Black. Tentu saja gue langsung jatuh cinta sama warna baby pink. Baby pink-nya berkilau gitu kayak mutiara. Apa sih istilah nggak noraknya? Gue nggak tau, ya pokoknya begitulah ya.
Nah singkat ceritanya, baby pink, ukuran 35, ternyata available! Tanpa memperhatikan lagi
berapa jumlah 0 di price tag, gue mengiyakan
bujukan pramuniaga-nya untuk membeli sepatu cantik itu. Nyokap gue yang langsung
menolak mentah-mentah. Masih mahal banget, menurut dia. Padahal itu udah
didiskon. Gue jadi dilema. Beli sepatu aja pake dilema ya, dapet salam tuh
dari drama queen. Di satu sisi, heels cantik ini udah melekat erat sama
kaki gue-he eh, gue pake keliling keliling toko supaya tau, sakit atau enggak pas jalan-, di sisi lain, harganya emang bikin mau nangis sih. Kalo
buat beli sepatu yang mereknya average,
mungkin bisa dapet dua sampai tiga pasang sepatu. Kalo buat beli sepatu di
Mangga Dua, mungkin bisa dapet enam sampai tujuh pasang sepatu. Kalo buat beli
kerupuk, mungkin bisa dapet… banyak. Entahlah, gue males ngitung angka
pastinya. *dijeburin ke jurang*
Tapi berhubung udah terlanjur
suka, gue kekeuh memutuskan untuk beli. Tapi begitu mau bayar, mbaknya
tiba-tiba bilang kalo sepatunya nggak jadi dijual karena cacat. Ngamuk lah gue.
Mana yang warnanya baby pink itu
tinggal satu, ukuran 35. The one and only.
Trus sekarang mbak-nya bilang itu gak dijual? HELL NO!
Gue ngototlah sama si mbaknya,
gapapa deh itu barang reject, I don’t
care I want to buy and take it home. Bodo amat rusak juga. Abis setelah gue
pake dan gue pelototin setengah jam, fine-fine aja tuh. Entah bagian mananya yg
reject, mbaknya gue tanya juga nggak
bisa jawab.
Setelah ngotot-ngototan selama
kurang lebih hampir sejam, gue nyerah. Udah malem banget, bentar lagi gue
diusir dari Senayan City, tapi mbaknya masih kekeuh bilang itu gak dijual. Kalo
gak dijual ngapain tadi ngana nawarin, hah? *gedeg*
Bahkan di perjalanan gue menuju
tempat parkir, gue masih penasaran sama sepatu cantik itu. Permasalahannya,
gini. Gue jarang banget suka sama sepatu. Sekalinya gue suka… jarang yang muat.
Sekalinya ada yang muat, jarang ada yang cocok… sama kantong gue. Sekalinya ada
yang cocok sama kantong gue, warnanya amit-amit. True story, singkatnya adalah, gue susah banget nyari sepatu.
Sesusah masukin onta ke lubang jarum. Entah apa tujuan onta masuk ke lubang
jarum. Onta yang aneh.
Besoknya, karena kantor pacar
kebetulan di Sentra Senayan, gue minta tolong dia untuk mampir ke toko tempat
gue mau beli sepatu itu. Dan live report-nya
dia dari TKP mengatakan… sepatu itu udah nggak ada di etalase. Yang ada hanya
tiga warna yang lain. Gue langsung manyun. Sederet pikiran buruk masuk ke otak
gue. Jangan-jangan mbaknya salah ngasih harga. Atau jangan-jangan mbaknya
kepingin sepatu itu juga. Atau jangan-jangan mama berkonspirasi demi
ekonomisasi sama mbaknya supaya gue nggak jadi beli sepatunya.
Tapi yang manapun yang benar, baby pink-nya udah raib dari etalase.
Gue bisa apa? Mau ngototnya kayak gimana juga si cantik itu udah gak mungkin
jadi milik gue. Jadi yah, belajar melupakan, walau belum bisa sepenuhnya
merelakan. *tsah* *disambit sisir*
***
Tanggal 23 Agustus 2013, beberapa
menit sebelum gue resmi berusia dua puluh dua, nyokap tiba-tiba ngeluarin
bungkusan besar dari lemari bajunya. Otomatis gue nanya, “MAAA INI KADO AKU
YAAA???” *pede maksimal* *ditoyor*
Nyokap gue cuma ngangguk terus
senyum-senyum penuh arti gitu. Pas mau gue sobek bungkus kadonya, ada wangi
permen yang sekilas menerpa indra penciuman gue. Begitu gue buka kotaknya…
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
MAMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!”
No comments:
Post a Comment